Biomarker Baru untuk Meningkatkan Diagnosis Apendisitis pada Pasien Anak

Biomarker Baru untuk Meningkatkan Diagnosis Apendisitis pada Pasien Anak

ABSTRAK
Perkenalan
Mendiagnosis radang usus buntu pada pasien anak-anak masih menjadi tantangan klinis, terutama di tempat-tempat dengan keterbatasan sumber daya di mana alat pencitraan kurang dapat diakses. Penanda inflamasi, termasuk Rasio Neutrofil terhadap Limfosit (NLR), Rasio Monosit terhadap Limfosit (MLR), Rasio Neutrofil terhadap Monosit (NMR), Rasio Trombosit terhadap Limfosit (PLR), Rasio Neutrofil terhadap Trombosit (NPR), dan protein C-reaktif (CRP), menawarkan pendekatan yang menjanjikan untuk meningkatkan akurasi diagnostik. Kami bertujuan untuk mengevaluasi kegunaan penanda inflamasi ini untuk mendiagnosis radang usus buntu.

Metode
Studi retrospektif ini melibatkan 1027 pasien anak yang menjalani apendektomi, dengan apendisitis yang dikonfirmasi secara histopatologis pada 891 kasus. Penanda inflamasi praoperasi (NLR, MLR, NMR, PLR, NPR, dan CRP) dianalisis dan nilai batas optimal ditentukan menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC).

Hasil
Peningkatan NLR, NMR, PLR, NPR, dan CRP sangat terkait dengan radang usus buntu, sementara hubungan terbalik diamati dengan MLR. NLR (≥ 4,42) dan NPR (≥ 0,0327) menunjukkan akurasi diagnostik yang tinggi dengan sensitivitas dan spesifisitas melebihi 75%. Anehnya, MLR menunjukkan hubungan terbalik yang signifikan secara statistik dengan risiko AA. Perbedaan suhu antara kelompok tidak signifikan secara statistik.

Kesimpulan
Setiap penanda inflamasi baru yang disarankan memiliki potensi untuk meningkatkan diagnosis praoperasi radang usus buntu pada pasien anak. Sistem seperti itu dapat meminimalkan ketergantungan pada pencitraan dan mempercepat pengambilan keputusan, terutama di lingkungan dengan keterbatasan sumber daya. Diperlukan studi prospektif lebih lanjut untuk memvalidasi temuan ini dan mengeksplorasi kegunaan klinisnya.

1 Pendahuluan
Apendisitis merupakan kondisi bedah yang umum dan mendesak pada pasien anak, dengan diagnosis yang tepat waktu sangat penting untuk menghindari komplikasi seperti perforasi dan peritonitis [ 1 – 3 ]. Meskipun kemajuan dalam pencitraan medis dan diagnostik laboratorium telah meningkatkan akurasi diagnostik, apendisitis pediatrik masih sulit untuk dievaluasi karena gejala yang tidak khas, hambatan komunikasi pada anak-anak yang lebih muda, dan presentasi yang tumpang tindih dengan kondisi perut lainnya [ 4 , 5 ].

Modalitas pencitraan seperti ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT) digunakan untuk melengkapi penilaian klinis. Sementara CT menawarkan sensitivitas dan spesifisitas diagnostik yang tinggi, penggunaannya pada anak-anak terbatas karena risiko radiasi dan keinginan untuk mematuhi prinsip-prinsip ALARA (As Low As Reasonably Achievable) [ 6 ]. Meskipun USG menghindari radiasi dan tersedia secara luas, hasil diagnostiknya bergantung pada keahlian operator dan mungkin suboptimal dalam situasi klinis tertentu seperti obesitas atau gas usus yang berlebihan [ 7 ]. Mengingat keterbatasan ini, alat diagnostik yang andal dan mudah diakses sangat penting untuk meningkatkan deteksi dini dan mendukung pengambilan keputusan dokter yang terinformasi.

Studi terbaru telah menyoroti peran potensial penanda inflamasi seperti Rasio Neutrofil terhadap Limfosit (NLR), Rasio Monosit terhadap Limfosit (MLR), dan protein C-reaktif (CRP) dalam mendiagnosis radang usus buntu pada orang dewasa [ 8 , 9 ]. Penanda ini mencerminkan respons inflamasi tubuh dan dapat dengan mudah diperoleh dari tes darah rutin [ 10 ]. NLR telah diidentifikasi sebagai prediktor signifikan radang usus buntu karena kemampuannya untuk mencerminkan keseimbangan antara peradangan yang dimediasi neutrofil dan respons imun yang dimediasi limfosit [ 11 ]. NLR dan CRP yang meningkat secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan radang usus buntu dan juga dapat memprediksi kasus yang rumit [ 9 , 12 – 16 ]. Demikian pula, MLR muncul sebagai penanda penting, dan membantu dalam membedakan radang usus buntu dari penyebab nyeri perut lainnya [ 17 ]. Menggabungkan CRP ke dalam sistem penilaian bersama NLR dan MLR dapat memberikan penilaian yang lebih komprehensif mengenai status inflamasi pasien [ 11 ].

Biomarker ini dapat dikombinasikan dengan alat bantu pengambilan keputusan klinis seperti skor Alvarado atau skor Appendicitis Inflammatory Response (AIR), yang mengintegrasikan data laboratorium dan gejala klinis untuk memandu manajemen [ 18 , 19 ].

Peningkatan suhu tubuh berguna dalam mengevaluasi pasien yang diduga mengalami radang usus buntu. Namun, peningkatan suhu lebih tinggi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun dibandingkan pada anak-anak yang lebih tua [ 20 – 23 ].

Yang penting, penelitian terbaru menunjukkan bahwa biomarker mungkin berguna tidak hanya dalam mengonfirmasi radang usus buntu tetapi juga dalam membedakan antara radang usus buntu yang tidak rumit dan rumit, yang berpotensi membantu dalam strategi manajemen non-operatif [ 24 , 25 ]. Biomarker inflamasi seperti rasio neutrofil terhadap limfosit (NLR), rasio trombosit terhadap limfosit (PLR), dan rasio monosit terhadap limfosit (MLR) telah mendapatkan perhatian karena kegunaannya dalam berbagai pengaturan klinis seperti menilai besarnya trauma bedah dan memprediksi komplikasi pascaoperasi. Kadar NLR yang meningkat, khususnya, telah terbukti berkorelasi dengan invasifitas prosedur bedah dan dapat berfungsi sebagai indikator awal hasil yang merugikan, termasuk infeksi dan pemulihan yang tertunda. Selain itu, biomarker ini telah menunjukkan relevansi klinis dalam membedakan infeksi sendi periprostetik (PJI) dari kegagalan aseptik setelah operasi ortopedi dan dalam mengidentifikasi tahap awal sepsis, sehingga meningkatkan akurasi diagnostik dan memungkinkan intervensi terapeutik yang tepat waktu [ 26 , 27 ]. Meningkatnya peran biomarker inflamasi dalam onkologi, penyakit autoimun, dan penyakit menular seperti sepsis semakin menegaskan nilai diagnostiknya [ 28 – 31 ].

Integrasi penanda inflamasi ini ke dalam sistem penilaian berpotensi mengurangi ketergantungan pada pencitraan, khususnya di tempat-tempat yang aksesnya terbatas terhadap alat diagnostik canggih. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memvalidasi sistem penilaian baru yang menggabungkan kadar NLR, NPR, NMR, PLR, MLR, CRP, dan suhu untuk meningkatkan akurasi diagnostik radang usus buntu pada pasien anak.

2 Bahan dan Metode
2.1 Desain Penelitian dan Populasi
Kami melakukan studi retrospektif terhadap pasien anak (berusia < 18 tahun) yang menjalani operasi usus buntu di Shamir Medical Center dari Januari 2018 hingga Juli 2024. Diagnosis usus buntu pra operasi dibuat oleh dokter bedah anak berdasarkan kombinasi tanda dan gejala klinis seperti nyeri perut yang berpindah ke kuadran kanan bawah yang disertai mual, anoreksia, nyeri tekan berulang, dan rasa waspada; hasil lab, seperti peningkatan CRP dan jumlah sel darah putih, dan temuan USG. Studi ini melibatkan anak-anak dengan usus buntu dengan berbagai tingkat keparahan, mulai dari usus buntu tahap awal tanpa komplikasi hingga kasus rumit dengan perforasi atau pembentukan abses. Studi ini disetujui oleh Dewan Peninjauan Institusional (IRB) Shamir Medical Center, yang memastikannya memenuhi semua persyaratan etika.

2.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Pasien yang diikutsertakan adalah pasien dengan hasil hitung darah lengkap pra operasi dan hasil histopatologi. Pasien yang tidak diikutsertakan adalah pasien hamil, pasien dengan penyakit radang kronis atau infeksi (misalnya, penyakit radang usus), atau data yang tidak lengkap (tidak ada nilai pencitraan atau laboratorium).

2.3 Pengumpulan Data
Data meliputi usia, jenis kelamin, suhu, parameter hitung darah lengkap (CBC) pra operasi (neutrofil, limfosit, monosit, dan trombosit), kadar CRP, temuan USG, dan laporan histopatologi. Kasus radang usus buntu meliputi radang usus buntu sederhana dan rumit (misalnya, nekrosis dan perforasi) per histopatologi sebagai satu kelompok. Kasus non-radang usus buntu (NA) meliputi usus buntu normal, peradangan yang mereda, Enterobius vermicularis , dan hiperplasia limfoid folikular.

2.4 Perhitungan Biomarker
Biomarker diperoleh dari hasil CBC (alat analisis Sysmex XN-1000):

2.5 Analisis Statistik
Analisis statistik dilakukan untuk memeriksa hubungan antara biomarker darah dan temuan patologis. Sebelum memilih tes yang tepat, kenormalan data dinilai menggunakan uji Kolmogorov–Smirnov dan plot QQ. Bergantung pada distribusi dan ukuran kelompok, perbandingan antar kelompok dilakukan menggunakan analisis parametrik (uji-T) atau analisis non-parametrik (uji Mann–Whitney U ). Untuk mengevaluasi akurasi diagnostik berbagai biomarker, kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dibuat, dan Area Under the Curve (AUC) dihitung. Analisis AUC secara khusus membandingkan dua kelompok: radang usus buntu dan Non Radang Usus Buntu (NA). Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (PPV), dan nilai prediksi negatif (NPV) dengan interval kepercayaan 95% (CI) ditentukan untuk setiap biomarker dan temuan ultrasonografi, dengan hasil histopatologi sebagai standar emas. Semua analisis statistik dilakukan menggunakan IBM SPSS Statistics v27.0 (IBM Corp., Armonk, NY, AS).

3 Hasil
Dari 1156 pasien yang menjalani apendektomi, 129 dikeluarkan karena data yang hilang ( n  = 77), operasi elektif ( n  = 19), atau penyakit kronis ( n  = 33), sehingga menyisakan 1027 pasien yang memenuhi syarat untuk analisis. Di antara mereka, 891 pasien (86,8%) memiliki apendisitis yang dikonfirmasi secara histopatologis. 136 pasien yang tersisa (13,2%) diklasifikasikan sebagai kasus non-apendisitis, yang meliputi peradangan yang mereda ( n  = 32), apendiks normal ( n  = 49), hiperplasia limfoid folikular ( n  = 48), dan infeksi Enterobius vermicularis ( n  = 7) (Gambar 1 ).

GAMBAR 1
Buka di penampil gambar
Presentasi PowerPoint
Diagram Alir Populasi Studi.
Di antara 891 pasien dengan diagnosis histopatologi radang usus buntu, 638 pasien (71,6%) memiliki temuan USG positif yang sesuai dengan radang usus buntu, sementara 253 pasien (28,4%) memiliki temuan USG negatif. Kinerja diagnostik USG menunjukkan sensitivitas 71,6% dan spesifisitas 45,2%.

Jumlah neutrofil absolut (ANC), jumlah trombosit absolut (APC), jumlah monosit absolut (AMC), CRP, NLR, PLR, NMR, NPR lebih tinggi pada kelompok apendisitis, sedangkan jumlah limfosit absolut (ALC) dan MLR lebih rendah pada kelompok apendisitis (Tabel 1 ). Satu-satunya variabel yang diuji yang tidak menunjukkan perbedaan signifikan secara statistik antara kelompok adalah suhu (Tabel 1 ). Kami menyarankan lima nilai batas: untuk NLR sebesar 4,419 (sensitivitas 75%, spesifisitas 71%, PPV 94,4%, NPV 30,2%), untuk NPR sebesar 0,0327 (sensitivitas 75,2%, spesifisitas 77,2%, PPV 95,6%, NPV 32,2%), untuk NMR sebesar 8,29 (sensitivitas 82,3%, spesifisitas 50,7%, PPV 91,6%, NPV 30,4%), untuk PLR sebesar 130,47 (sensitivitas 70%, spesifisitas 50%, PPV 90,2%, NPV 20,3%), dan untuk MLR sebesar 1,94 (sensitivitas 74,3%, spesifisitas 59,5%, PPV 92,3%, NPV 26,1%). Nilai-nilai ini mewakili kombinasi paling tepat dari sensitivitas tinggi, spesifisitas, nilai prediksi positif (PPV), dan nilai prediksi negatif (NPV). Temuan analisis regresi logistik disajikan dalam Tabel 2. Analisis ini mengungkapkan bahwa nilai NLR 4,419 atau lebih tinggi memiliki risiko 4,28 kali lebih tinggi untuk radang usus buntu ( p  < 0,01), nilai NPR 0,0327 atau lebih tinggi memiliki risiko 5,55 kali lebih tinggi untuk radang usus buntu ( p  < 0,01), nilai NMR 8,29 atau lebih tinggi memiliki risiko 4,26 kali lebih tinggi untuk radang usus buntu ( p  < 0,01), nilai PLR 130,47 atau lebih tinggi memiliki risiko 5,12 kali lebih tinggi untuk radang usus buntu ( p  < 0,01), dan nilai MLR 1,94 atau lebih rendah memiliki risiko 7,7 kali lebih tinggi untuk radang usus buntu (p < 0,01). Kami menggunakan kurva ROC (receiver operating Characteristics) untuk menggambarkan secara grafis hubungan antara rasio true-positive (sensitivitas) dan rasio false-positive (1-spesifisitas) untuk NLR, PLR, NMR, dan NPR (Gambar 2 ). Kurva ROC untuk MLR ditunjukkan secara terpisah (Gambar 3 ), dan nilai AUC yang sesuai disajikan dalam Tabel 2 .

TABEL 1. Biomarker inflamasi.

4 Diskusi
Keakuratan USG dalam mendiagnosis radang usus buntu sangat bergantung pada keahlian pemeriksa, sehingga menimbulkan tantangan pada pasien anak karena struktur anatomi mereka yang lebih kecil dan kerja sama yang terbatas. Mengingat meningkatnya risiko keganasan akibat radiasi pada anak-anak, computed tomography (CT) kurang disukai meskipun kejelasan diagnostiknya lebih unggul. Sebaliknya, orang dewasa mendapat manfaat dari visualisasi anatomi yang lebih jelas dan presentasi yang lebih khas, sehingga memerlukan strategi diagnostik yang berbeda untuk pasien anak guna meminimalkan paparan radiasi [ 5 , 6 ].

Temuan kami menunjukkan efektivitas USG yang moderat dalam mendeteksi radang usus buntu, dengan sensitivitas 71,8% dan spesifisitas 44,8%. Meskipun USG dapat mengidentifikasi sebagian besar kasus yang sebenarnya, spesifisitasnya yang terbatas menggarisbawahi perlunya alat diagnostik pelengkap, seperti biomarker darah, untuk meningkatkan akurasi diagnostik. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, hasil kami menunjukkan sensitivitas yang lebih baik tetapi spesifisitas yang lebih rendah, yang menyoroti variabilitas dalam kinerja USG di berbagai pengaturan klinis [ 7 ].

Studi ini menggarisbawahi peran potensial penanda inflamasi dalam mendiagnosis radang usus buntu pada pasien anak. Rasio neutrofil-limfosit (NLR), rasio neutrofil-monosit (NMR), rasio trombosit-limfosit (PLR), rasio neutrofil-trombosit (NPR), dan protein C-reaktif (CRP) yang meningkat ditemukan sebagai indikator signifikan radang usus buntu, yang mencerminkan respons inflamasi yang mendasarinya yang dipicu oleh infeksi bakteri. Meskipun penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa rasio monosit-limfosit (MLR) cenderung meningkat pada penyakit menular seperti pneumonia, tuberkulosis, dan sepsis, temuan kami mengungkapkan penurunan MLR yang signifikan secara statistik di antara pasien dengan radang usus buntu. Tren ini, juga diamati dalam penelitian terbaru lainnya, menunjukkan bahwa MLR berperilaku berbeda pada radang usus buntu dibandingkan dengan infeksi lain [ 16 ]. Satu kemungkinan penjelasan terletak pada kinetika respons sel imun yang berbeda: selama infeksi bakteri akut, jumlah limfosit sering menurun dengan cepat karena redistribusi dan apoptosis, sedangkan kadar monosit cenderung meningkat lebih bertahap, biasanya setelah lonjakan awal neutrofil [ 16 , 32 ]. Respons monosit yang tertunda ini dapat mengakibatkan MLR yang lebih rendah selama tahap awal peradangan, seperti yang terlihat pada kelompok apendisitis kami. Penelitian lebih lanjut yang berfokus pada evolusi temporal MLR pada infeksi akut dapat membantu memperjelas peran potensialnya sebagai penanda diagnostik [ 32 , 33 ].

Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa jumlah trombosit berbeda secara signifikan antara kelompok ( p  = 0,031). Perbedaan signifikan dalam PLR ( p  < 0,001) diamati, yang menekankan peran trombosit dalam mendorong peradangan [ 34 ]. NLR muncul sebagai salah satu biomarker yang paling dapat diandalkan, yang mencerminkan keseimbangan antara peradangan yang didorong oleh neutrofil dan regulasi imun yang dimediasi oleh limfosit. NPR, yang memperhitungkan hubungan antara neutrofil dan trombosit, juga menunjukkan potensi diagnostik yang kuat, memperkuat peran trombosit sebagai reaktan fase akut dalam peradangan. CRP, penanda peradangan sistemik yang mapan, semakin meningkatkan akurasi diagnostik bila dikombinasikan dengan biomarker lain [ 20 , 21 ].

Menariknya, tidak adanya perbedaan suhu yang signifikan antara kelompok radang usus buntu dan non-radang usus buntu menunjukkan bahwa presentasi awal atau penggunaan antipiretik dapat mengaburkan demam sebagai tanda klinis. Temuan ini menyoroti keterbatasan mengandalkan parameter tunggal dan mendukung pengembangan sistem penilaian multi-penanda untuk meningkatkan presisi diagnostik. Nilai batas yang diidentifikasi untuk NLR (≥ 4,42), NPR (≥ 0,0327), NMR (≥ 8,29), PLR (≥ 130,47), dan MLR (≤ 1,94) memberikan keseimbangan antara sensitivitas dan spesifisitas. Namun, tidak seperti biomarker lainnya, MLR menunjukkan peningkatan sensitivitas dan spesifisitas pada kadar yang lebih rendah. Mengintegrasikan biomarker ini dengan presentasi klinis dan temuan pencitraan dapat meningkatkan akurasi diagnostik sekaligus mengurangi ketergantungan pada pencitraan, terutama di rangkaian terbatas sumber daya dan pada populasi anak-anak, di mana diagnosis pada dasarnya lebih menantang daripada pada orang dewasa.

Dibandingkan dengan model penilaian klinis yang sudah mapan seperti skor Alvarado atau skor Appendicitis Inflammatory Response (AIR), model berbasis biomarker kami menawarkan metrik diagnostik yang serupa. Misalnya, sementara skor Alvarado memiliki AUC sebesar 0,790 dan AIR memiliki AUC sebesar 0,810 [ 18 , 19 ], NPR dan NLR dalam analisis kami mencapai AUC sebesar 0,802 dan 0,772, secara berurutan. Akan tetapi, tidak seperti skor klinis yang bergantung pada parameter klinis subjektif seperti mual atau nyeri tekan berulang, biomarker memberikan metrik yang objektif dan terukur dengan reproduktifitas yang tinggi.

Yang penting, dalam penelitian ini, semua kasus radang usus buntu bedah, baik yang sederhana maupun yang rumit, dimasukkan ke dalam kelompok radang usus buntu, yang mencerminkan situasi darurat di dunia nyata, di mana perbedaan tersebut tidak selalu terlihat sebelum operasi. Pendekatan inklusif ini meningkatkan generalisasi tetapi juga menggarisbawahi keterbatasan—kinerja biomarker dalam membedakan antara kasus yang rumit dan tidak rumit tidak dievaluasi secara terpisah.

Keterbatasan lainnya mencakup desain retrospektif satu pusat dan tidak adanya validasi eksternal. Selain itu, analisis kami tidak mengontrol komorbiditas atau memeriksa pengaruh stratifikasi usia. Selain itu, kami tidak mengevaluasi perubahan berbasis waktu pada kadar biomarker, yang dapat memengaruhi akurasi diagnostik. Uji coba multipusat prospektif yang membandingkan tren biomarker dengan pencitraan dan skor klinis akan memberikan wawasan yang lebih pasti.

5 Kesimpulan
Studi ini menyoroti nilai diagnostik dari penggabungan penanda inflamasi—NLR, MLR, NMR, PLR, NPR, dan CRP—dalam evaluasi praoperasi radang usus buntu pada pasien anak. Dengan memanfaatkan kekuatan pelengkap dari biomarker ini, sistem penilaian baru dapat meningkatkan akurasi diagnostik, memfasilitasi intervensi dini, dan mengurangi ketergantungan pada pencitraan, terutama di lingkungan dengan keterbatasan sumber daya. Hubungan terbalik yang tak terduga yang diamati dengan MLR menggarisbawahi perlunya penyelidikan lebih lanjut mengenai perannya dalam patofisiologi radang usus buntu. Studi prospektif multisenter di masa mendatang diperlukan untuk memvalidasi sistem penilaian ini, memastikan penerapan klinisnya di berbagai lingkungan perawatan kesehatan.

You May Also Like

About the Author: smworldventures

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *